PENGEMBANGAN
PERKOTAAN
DEFENISI KOTA
Dalam pengertian kota ,
ada banyak hal yang dapat menjadi arti dari sebuah kata kota . Menurut Bintarto, kota adalah suatu system jaringan kehidupan
manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang memiliki tingkat strata
social ekonomi yang heterogen dan kehidupan materialistis.
Adapun yang mengatakan bahwa kota adalah kelompok penduduk yang bertempat
tinggal bersama-sama dalam suatu wilayah menurut peraturan-peraturan yang telah
ditentukan. Kota
adalah suatu wilayah yang didalamnya memiliki aksesbilitas seperti pusat
pemukiman penduduk, pusat kegiatan ekonomi, pusat kegiatan politik, pusat
hiburan, dan pusat kegiatan social budaya.
Adapun cirri-ciri kehidupan kota sebagai berikut:
- Kehidupan social dimana adanya jarak social dan kurangnya
toleransi social antar warga,
- Adanya perbedaan tingkat penghasilan,
- Adanya perbedaan pekerjaan dan pendidikan,
- Memiliki sifat individual.
Selain ciri-ciri kehidupan, kota juga memiliki cirri-ciri fisik yang dimana kota memiliki
tempat-tempat untuk perdagangan, tempat pendidikan, tempat industry, tempat
wisata, dan tempat pemukiman masyarakat.
PENGARUH
EKONOMI
Salah satu fungsi kota sebagai tempat melangsungkan kehidupan manusia
adalah fungsi ekonomi. Menurut Williams dan Brunn (1993), ekonomi memainkan
peran yang besar dalam perkembangan kota. Banyak para profesi dibidang kajian
perkotaan telah membicarakan konsep ekonomi. Konsep ini adalah pendekatan
paling sederhana untuk mengamati sumber potensial yang mempengaruhi pertumbuhan
kota.
Fungsi
dasar ekonomi adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam penyediaan kebutuhan
hidup masyarakat dan kegiatan ekonomi diluar batas kawasanny. Fungsi dasar
merupakan faktor kunci untuk memacu pertumbuhan penduduk, pekerjaan, dan
pendapatan masyarakat. Dari kegiatan ekonomi dasar digunakan untuk kegiatan
ekonomi nondasar seperti hasil-hasil pabrik semen dan baja digunakan untuk
pembangunan gedung dan rumah. Hasil olahan pertanian, perkebunan, dan perikanan
dari pabrik makanan dan minuman dielaborasi direstoran-restoran dan warung.
Anthony
D. King (1990) mengemukakan teori ekonomi lainnya yang menekankan kepada tenaga
kerja dan keterkaitannya pada pertumbuhan dan perubahan kota. Menurut
pendapatnya keadaan pasar dunia mempunyai pengaruh yang sangat berarti terhadap
kota. Dalam hipotesanya tentang pengaruh kekuatan kebijakan ekonomi adalah
sebagai pendekatan sejarah, dimana masalahnya adalah berdasarkan pada perubahan
kota didalam hubungannya dengan pengelompokan tenaga kerja melalui proses yang
logis.
Beberapa
pendapat mengenai pembentukan struktur fisik kota timbul dari beberapa pendidik
bidang perkotaan berdasarkan hubungan antara kegiatan masyarakat dengan waktu
perkembangan ekonomi. Sejumlah akademisi dalam studi perkotaan memperdebatkan
bahwa investasi pada bangunan dalam kota adalah berkaitan dengan siklus
kegiatan ekonomi. Kota memproduksi dan mereproduksi kembali unsur-unsur fisik
dalam berbagai cara. Pertumbuhan kota tergantung pada fluktuasi ekonomi
khusunya siklus dan investasi.
Dari kondisi
ekonomi dapat dilihat dengan pembangunan fisik di kawasan perkotaan. Masa
resesi meninggalkan rangka-rangka gedung yang belum selesai yang kemudian akan
dilanjutkan kembali setelah kondisi ekonomi membaik.
Peran
siklus pembangunan dalam perwujudan struktur fisik kota adalah penting setiap
siklus pembangunan memiliki ciri pertumbuhan dalam komposisi tata guna tanah
dan keadaan budaya dari masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Golledge dan
Stimson (1997), fluktuasi pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan penemuan
teknologi. Keduanya menyatakan pertumbuhan teknologi telah mempengaruhi sifat-sifat
dasar produksi, distribusi, dan organisasi kegiatan ekonomi di kota. Pada masa
krisis ekonomi kegiatan industri dibidang kontruksi, seperti pembangunan gedung
perkotaan /perkantoran, properti serta pembelanjaan menurun. Keadaan ini
memperlambat pengisian ruang kota, penggunaan tanah serta perubahan bentuk
kawasan kota. Sebaliknya dimasa ekonomi baik terjadi pelonjakan kegiatan
pembangunan properti yang memberi dampak peningkatan pengisian ruang-ruang
kota.
PENGARUH SOSIAL
Didalam
kota, terdapat berbagai suku bangsa, keahlian, jenis pekerjaan, dan tingkatan
pendapatan. Sifat-sifat dan karateristik sosial memberi pengaruh pandangan
mereka terhadap lingkungan hidupnya. Kota merupakan suatu mimbar pertemuan bagi
interaksi yang kompleks antar perorangan dan antar masyarakat untuk berbagai
tujuan yang berbeda, termasuk tempat tinggal, pekerjaan, dan tujuan. Status
sosial ekonomi seperti kesukuan, umur, tingkat pendapatan menentukan dimana
kelompok masyarakat bertempat tinggal dan bekerja, juga jenis kebudayaan dan
kegiatan hiburan dimana mereka terlibat.
Dijelaskan
oleh Henri Lefebure bahwa setiap masyarakat membentuk suatu ruang yang jelas
mempertemukan persyaratan yang berkaitan bagi produksi ekonomi dan produksi
sosial dari suatu kota. Adapun Dolores Hayden (1995) mengatakan bahwa produksi
ekonomi dan produksi sosial keduanya membentuk ruang kota secara bersamaan.
Keduanya saling berkaitan secara serentak melalui kegiatan manusia didalam
menyediakan kebutuhannya.
Kehidupan
masyarakat yang beragam yang diwujudkan dalam kegiatan politik, ekonomi,
khususnya hubungan sosial dan budaya diantara anggota kelompok serta antara
suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya. Hubungan kedua aspek
kehidupan tersebut membutuhkan ruang pergerakan yang senantiasa berkembang dari
waktu kewaktu sehingga mempengaruhi kondisi kota yang dihuninya.
Persamaan
dan perbedaan daripada ruang-ruang sosial yang diciptakan berdasarkan aspek
kehidupan masyarakat membentuk suatu kota yang beraneka ragam. Dengan demikian,
kota merupakan hasil dari kumpulan ruang-ruang sosial yang dibentuk oleh pola
kehidupan masyarakat yang beraneka ragam yang senantiasa berkembang dan
dicirikan oleh suatu karateristik sumber alam yang tersedia. Keadaan sosial dan
budaya yang melekat pada kehidupan masyarakat akan membentuk struktur suatu
kota.
Sejalan
dengan perkembangan waktu, suatu kota akan merubah akibat pergerakan masyarakat
yang hadir pada kota tersebut dan membawa kebudayaan sosial dimana massyarakat
itu berasal. Berawal dari produksi dan reproduksi ruang ekonomi dan sosial
dalam suatu desa kemudian berkembang menjadi kota kecil. Kota melalui
perjalanan waktu pada akhirnya menjadi suatu kota besar. Dan kota besar
berkembang mengikuti peradaban yang dianut oleh masyarakatnya menjadi kota
kotemporer yang dipenuhi dengan pemukiman penduduk, jalan raya, pertokoan,
kawasan industri, taman dan ruang-ruang publik lainnya.
PEMBANGUNAN sesungguhnya
merupakan never ending process (proses yang tak pernah berakhir),
kendati Orde Baru telah gagal mempertahankan kesinambungan (sustainability) dalam
pembangunan. Bahkan ada yang mengatakan perjalanan pembangunan selama tiga
dasawarsa lebih berujung kepada "Dead-end" (akhir yang
mematikan/mengalami jalan buntu), karena memang, Orde Baru menjadi monolitik
dan otoriter secara politik, begiotupun ekonomi dikuasai segelintir pelaku
bisnis, yang akibatnya kesenjangan sosial dan ekonomi yang menganga tak bisa
dielakksan.
Pertumbuhan ekonomi yang cepat, tampaknya telah menjadi "ideologisasi" rezim selama tiga dasawarsa lebih yang menuntut adanya penyeragaman dalam pembangunan, seperti misalnya desa di seluruhIndonesia diseragamkan (unifikasi)
tata cara pengelolaan dan penamaannya. Padahal, kalau kita akui secara
jujur, bahwa penyeragaman (unifikasi) menjadi tidak terpat, karena
selain mengingkari falsafah bangsa: Bhinneka Tunggal Ika, juga
mengingkari fakta sosialnya bahwa keunggulan tersebut ditentukan oleh kekayaan
beragam (pluralistik) yang dimiliki oleh negeri ini.
Pertumbuhan ekonomi yang cepat, tampaknya telah menjadi "ideologisasi" rezim selama tiga dasawarsa lebih yang menuntut adanya penyeragaman dalam pembangunan, seperti misalnya desa di seluruh
Dari realitas penyeragaman tersebut, disdari atau tidak, stabilisasi dijadikan "tujuan" dan bukan "cara" oleh rezim selama itu dalam pembangunan, sehingga partisipasi masyarakat dikerangkeng atau ditekan, bahkan lebih ekstrim lagi dikorbankan semata-mata demi stabilitas, kendatipun stabilitas seperti penganjur pembangunan politik terpopuler Samuel Huntington, mengatakan bahwa stabilitas sebagai syarat pembangunan, khususnya ketika lembaga-lembaga politik belum siap. dalam arti lain, manakala partisipasi politik rakyat yang terlalu tinggi, sedangkan lembaga-lembaga politik belum siap (atau masih muda), maka diyakini tidak akan mampu menampung partisipasi tersebut, sehingga dibutuhkan stabilitas, namun kekeliruan fundamental adalah meletakkan militer sebagai kunci dari stabilitas.
Pemaksaan konsep pembangunan itulah, diakui atau tidak, penggusuran demi penggusuran baik tempat tinggal maupun tempat usaha kaum miskin, secara niscaya telah menjadi aktivitas ritual rezim selama itu, bahkan mungkin juga dewasa ini dalam mengejawantahkan makna pembangunan. Karena memang pembangunan selama ini (kerapkali) memperioritaskan penggemukan pendapatan nasional secara agregatif, sehingga pertumbuhan ekonomi dengan syarat stabilitas politik menjadi referensi perioritas dalam pengejaran target pembangunan tersebut. Sedangkan dimensi-dimensi lainnya seperti keadilan sosial (atau pemerataan), aspek manusianya dan muatan-muatan lokal yang dimiliki oleh negeri ini, tertinggalkan atau memang sengaja ditinggalkan.
Seiring dengan itu, pembangunan perkotaan sebagai konsep sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan stratifikasi ekonomi yang heterogen atau sebagai suatu tempat pertemuan yang berorientasi ke luar, tata ruang perkotaan pun sebagai tempat pemukiman yang tetap dan memiliki "magnit" tertentu bagi penghuni-penghuninya termasuk penghuni-penghuni di luar kota untuk mengadakan kontak, baik itu dalam perdagangan maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Namun persoalan mendasarnya, apakah pembangunan perkotaan (dewasa ini) benar-benar menyentuh pada kepentingan umum (rakyat banyak) sebagai pusat pemerintahan (?) Dan bagaimana obyektivitasnya dengan sentuhan-sentuhan lokal atau kontektual alamiah demografinya (?).
Pada tataran inilah, obyektivitas pembangunan perkotaan secara niscaya patut dielaborasi, karena kota adalah merupakan tempat pemukiman secara aglomer (kumulatif), yang merupakan suatu wilayah dengan paling tidak ciri-ciri fisaik, pemukiman manusia, pusat pemerintahan dan perniagaan yang dalam hubungannya bersifat sekunder.
Reaksi Sosial
Paradigma
pembangunan (kota ) di Indonesia memang masih dihadapkan
pada akumulasi pertumbuhan dalam bentuk fisik sebagai faktor determinan
pendapatan pemerintah (dengan APBN/APBDnya). Atau, dalam bahasa Arief Budiman
(2000), Di Indonesia kata pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi segala hal.
Secara umum, kata ini diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan
masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang dimaksud terutama adalah
kemajuan material. Maka, pembangunan seringkali diartikan sebagai kemajuan yang
dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi.
Sehingga dari konstatasi konsep pembangunan tersebut, memang disadari atau tidak, pembangunan pun memunculkan reaksi-reaksi yang berkepanjangan dari masyarakat. Model pembangunan yang "ditancapkan" dalam negara
Strategi pembangunan dengan pedenkatan konvensional yang dikenal dengan konsep pertumbuhannya, nyata-nyata telah menjadi kiblat pembangunan selama ini. Pendekatan ini, cenderung mengutamakan pertumbuhan output sebagai ukuran keberhasilan. Dengan perkataan lain, pendekatan ini mampu mendobrak keterbelakangan dan mencapai tingkat kemajuan, dikarenakan masalah pembangunan acapkali diukur oleh keberhasilan pembangunan ekonomi yang bersifat agregatif. Namun demikian, keberhasilan pembangunan tersebut, tidak harus merasa puas, karena disadari atau tidak, usaha pembangunan dengan pendekatan tersebut, umumnya dan khususnya tiga dasawarsa lebih dalam negara Indonesia, justru memperlihatkan dan atau dihinggapi oleh penderitaan, kemiskinan dan jurang antara kaya dan miskin maih tetap lebar.
Itu sebabnya, berbagai alasan dikemukakan, kenapa pembangunan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, baik itu alasan yang bersifat ekonomi, sosial, ideologi bahkan historis. Dan pelajaran yang harus kita petik dari itu semua, tampaknya tidak berlebihan bila kita mengakuinya bahwa memang telah gagal pertama dan terutama dalam menangani persoalan kemiskinan (termasuk kemiskinan di perkotaan).
Dari
kegagalan itu, merangsang orang untuk melacak dan menggali teori-teori
"pembangunan" sebagai alternatif menjawab keniscayaan pembangunan
yang membebaskan kemiskinan dan menyadarkan pada kepentingan semua dimensi,
tidak hanya yang bersifat "matematis-ekonomi". Itu sebabnya,
pendekatan pembangunan tidak diukur dari indikator ekonomi semata, melainkan
mencakup semua aspek kehidupan. Dengan perkataan lain, paradigma pembangunan
yang selama ini menghantui pikiran kita dengan konsepsi pertumbuhan ekonominya,
misalnya paradigma ekonomi-moneter yang menjustifikasi tujuan pembangunan
menjadi pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya dalam waktu
sesingkat-singkatnya. Sehingga disadari atau tidak, ada pembenaran yang
signifikan, yaitu "menghalalkan" adanya ketimpangan. Maksudnya,
dengan adanya ketimpangan memberikan peluang yang berarti bagi kaum atau
golongan atas untuk menciptakan productive base bagi pembangunan.
Sedangkan pemerataan hanya sekedar lip service, bahkan menjadi momok
bagi pembangunan.
Reaksi-reaksi sosial itulah, merupakan realitas yang tak bisa dibantah belakangan ini, bahkan gelombang dan tuntutan reformasi pun, secara niscaya merupakan antitesis dari realitas kehidupan yang selama ini "menghianati" persoalan-persoalan sosial budaya negara bangsanya dan sejenisnya. Kemiskinan khususnya di
Proses pembangunan, hingga kini pun, masih saja dimensi sosial budaya dan sejenisnya sebagai suplemen pembangunan ekonomi. Padahal, dimensi-dimensi tersebut merupakan dimensi fundamental pembangunan. Dalam perkataan lain, persoalan sosial budaya merupakan persoalan yang harus dipahami dalam tatanan yang intrinsik untuk mengejawantahkan pembangunan. Itu sebabnya, ia membutuhkan suatu "rekayasa sosial" dalam menjembatani perubahan-perubahannya, atau dapat merombak tatanan dan institusi-institusi sosial sehingga mampu menghasilkan suatu masyarakat yang mandiri, dan terbuka. Makna penting pembangunan secara niscaya harus menyentuh pada semua kepentingan. Artinya, dapat dikatakan bahwa pembangunan bidang sosial politik, sosial ekonomi, bahkan pertahanan dan keamanan dapat berhasil dengan baik apabila dilandasi terlebih dahulu pembangunan sosial budaya. Tidak hanya sekedar suplemen/pelengkap saja.
Memang, masalah sosial mempunyai efek reaksi berantai, karena hal ini biasanya akibat dari masalah sosial sebelumnya dan berinteraksi dengan faktor-faktor sebelumnya, kemudian tumbuh berkembang sebagai deret ukur. Sebagai contoh masalah kemiskinan, penggunaan narkoba, dan perkelahian antar pelajar termasuk kejahatan terhadap anak-anak.
Untuk itu, adanya perubahan sosial tidak bisa lepas dari adanya perubahan individu, atau perubahan individu merupakan bagian integral dari adanya perubahan sosial. Dengan begitu, perubahan sosial bagaimana pun, kita harus melihat dan menyimak dari adanya atau dimulainya perhatian dari perubahan individual dengan mengubah sikap individu. Contoh misalnya menempelkan stiker di bis-bis atau angkot dengan kalimat yang pendek: Kendalikan/kendarai mobil ini dengan enak, tidak seenaknya. Dalam contoh ini target kampanyenya adalah untuk mengubah sikap setiap individu masyarakat terhadap yang membawa/mengendarai mobil.
Reaksi-rekasi
sosial itulah, merupakan suatu sikap nilai individu yang mempengaruhi perilaku
kelompok, dan sosial kemasyarakatan, karena itulah yang pada pokoknya harus
diperjuangkan ialah kemampuan untuk berkembang baik secara sosial, ekonomi
maupun politis dalam semua tingkatan dan semua komponen masyarakat, sehingga
memungkinkan bangsa bersangkutan (Indonesia ) "survive" di
tengah-tengah dunia yang tidak stabil dan makin tunduk pada persaingan. Itu
sebabnya, peningkatan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun
kolektif, tidak hanya sekedar beradaptasi diri pada perubahan, akan tetapi
secara niscaya harus mengarahkan perubahan tersebut agar sesuai dengan
tujuannya untuk kepentingan semua (bonnum commune).
Kesenjangan Persepsi dan Krisis Orientasi
Pembangunan
ada sangkut paut dengan perubahan. Dan hal ini jauh lebih mendasar ketimbang
yang disangkakan semula, karenanya usaha pembangunan merupakan suatu upaya
untuk menuju sasaran yang dinamis. Arus perubahan merupakan akibat dari proses
pembangunan itu sendiri, pengaruh teknologi, pola pertumbuhan yang tidak
merata, masuknya kebudayaan dan nilai-nilai asing. Juga, perubahan-perubahan
yang terjadi baik dalam scope nasional maupun internasional merupakan
sarana-sarana pembangunan, seperti meliputi kepadatan penduduk yang makin
besar, keasadaran politik yang makin meningkat, termasuk perubahan-perubahan
gaya hidup dan lain sejenisnya.
Dalam pemaknaan pembangunan, memang adanya reaksi-reaksi baik reaksi yang "pendek"/spontan untuk mendesain perencanaannya karena memiliki hubungan yang erat dengan reaksi berikutnya (reaksi panjang/berantai). Reaksi pendek tersebut merupakan fundamen dasar dalam penataan perubahan sosial yang diarahkan atau diantarkan menuju reaksi berantai yang cukup memberikan harapan yang baik atas perubahan tersebut. Namun demikian, pembangunan yang diidealkan untuk kepentingan rakyat banyak atau disandarkan bagi kesejahteraan umum, pada realitasnya hanya menyuguhkan kepentingan-kepentingan untuk kelompok kecil saja. Dalam arti, bahwa model pembangunan apapun pendekatannya yang disandarkan pada semua lapisan masyarakat untuk dapat menikmatinya, justru dalam realitasnya masih banyak rakyat tidak dapat menikmati "kue" pembangunan. Persenyawaan teori modernitas dalam realitasnya, diakui atau tidak, menggiring monopolistik di atas kemajemukan (pluralistik) tingkatan ekonomi. Maksudnya, pengkavlingan tuntutan pragmatis pembangunan yang kian materialistik dengan aspirasi-aspirasi morlaitas pembangunan yang demokratis atau pembangunan yang berwajah keadilan sosial (pemerataan), senantiasa berhadap-hadapan (via a vis).
Memang,
persoalan pembangunan erat kaitannya dengan moralitas, moralitas merupakan
salah satu nilai masyarakat yang mengatur tingkah laku manusia. Itu sebabnya,
apabila masyarakat memandang sesuatu sebagai masalah sosial, maka biasanya
masyarakat akan memandang atau bahkan merasakannya bahwa sesuatu perlu diatasi.
Berarti, persoalan pembangunan merupakan resultante dari berbagai aspek
yang berada dalam masyarakat, yang satu sama lain saling memperkuat bahkan bisa
juga saling menambah parahnya persoalan, ketika memang tidak ada kejelasan dan
hanya sekedar mengejar bahwa wujud pembangunan tidak terkait dengan persoalan "ekologi
daerah"nya.
Ketimpangan atau kesenjangan dari hasil pembangunan itu sendiri menyodorkan kesenjangan persepsi dan krisis orientasi pembangunan. Artinya, yang kaya semaklin kaya, dan yang tidak berdaya semakin tidak berdaya, padahal makna yang disodorkan oleh jargon pembangunan, baik secara subyektivitasnya maupun obyektivitasnya, secara niscaya tetap adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan yang merata bagi semua lapisan masyarakat. Dan secara dasariah, keniscayaan mengeliminir gejolak-gejolak dan kekerasan-kekerasan, nyata-nyata diharapkan dalam pelaksanaan pembangunan, namun fakta sosialnya, senantiasa kekerasan atau pembuldozeran oleh kpenetingan-kepentingan sistem kekuasaan dan konglomerat. Apakah itu soal buruh, tanah, bahkan kita mungkin masih ingat kasus Hendri Ali sang pemilik rumah dan pekarangan di wilayah Jabotabek. Sampai tiga kali dia pindah rumah karena terkena penggusuran, dan terakhir mempertahankan miliknya dengan membuat sebuah kemah. Kasus Kacapiring di Bandung, kasus Kedong Ombo yang dijadikan sebuah proyek Waduk di Jawa Tengah, kasus Nipahdi Jawa Timur, termasuk penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) nyaris di smeua kota, daerah resapan air di Babakan Siliwangi (baca: Kondommium), dirambahnya hutan konservasi menjadi pemukiman dan lain-lainnya. Tampaknya, menjadi kegiatan rutinitas aparat pemerintah yang menampakkan wajah kebrutalan penguasa melukai hati rakyat sendiri dan tidak melestarikan daerah-daerah yang semestinya bukan untuk pembangunan perumahan/pemukiman (seperti Villa) malah dirambah hanya mengejar pertimbangan kepentingan ekonomi an sich.
Adanya keresahan dan ketidakpuasan rakyat, pertama-tama dan terutama lapisan bawah, karena senantiasa menjadi tumbah pembangunan selama ini. Memang, sebagiamana dikemukakan Arief Budiman, bagi rakyat kecil, seringkali pembangunan memiliki arti lain. Saya teringat cerita yang dikisahkan oleh Bapak Selo Sumardjan. Dia pernah terdampar di sebuah
Polarisasi rakyat terhadap pemerintah di satu sisi, tampaknya merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa diabaikan, ketika persoalan pembangunan hanya menjadi model penderitaan bagi rakyat terutama lapisan bawah. Akibatnya, dari optik itulah, disorganisasi sosial mempunyai korelasi yang tidak kecil dengan kejahatan, manakala tata nilai moralitas pembangunan diabaikan. Juga, disorganisasi sosial menyebabkan orang bersikap acuh tak acuh, merasa dirinya tidak berdaya terhadap ancaman pihak yang lebih kuat, sehingga dari sini terjadi pengasingan manusia dari manusia yang lain. Sedangkan di satu sisi, dengan sistem kekuasaannya, pemerintah dengan mainsteam pembangunan diasumsikan dengan melanggar peraturan atau melakukan kejahatan sudah merupakan suatu hal yang dibanggakan atau terpuji dalam melakoni pembangunan. Artinya, kearifan pembangunan diabaikan, bahkan tidak peduli lagi melihat aspek-aspek alamnya dan sosial budayanya, mana untuk pembangunan (dalam arti fisik), dan mana saja untuk daerah-daerah perniagaan, pemukiman, dan daerah-daerah konservasi hutan dan lain-lainnya.
Political
will pemerintah yang tidak berpijak pada kepentingan-kepentingan yang lebih
luas, namun hanya pertimbangan pendapatan saja, mengakibatkan pergeseran makna
pembangunan yang sesungguhnya. Artinya, bahwa pembangunan tidak hanya sekedar
mengejar target-target pendapatan saja (baca: PAD), melainkan pembangunan
tersebut, adalah memerlukan kepekaan terhadap semua lingkungan baik sosial
budaya, politik, ekonomi dan lingkungan-lingkungan alam sebagai penyangga
ekosistem. Pendek kata, sensibilitas memahami pembangunan
terfungsionalisasikannya semua elemen-elemen pembangunan dan aspek-aspek yang
mengitarinya.
Obyektivitas Pembangunan
Perkotaan
Logika-logika
di balik penggusuran demi pembangunan, tampaknya telah menjadi ideologi para
penguasa. diskriminasi dan disparitas antara kaum kaya dan miskin telah menjadi
pemaknsaan pembangunan selama ini. Sehingga kalau saja pembangunan tidak
berhasil seperti dalam menangani persoalan banjir, kesemrawutan kota dan lain-lain, justru
yang menjadi kambing hitamnya adalah mereka rakyat miskin dan pedagang di pasar
inpres atau PKL.
Memang,
sejumlah konsep pembangunan muncul untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan
pembangunan (perkotaan), sehingga terdapat dua kelompok besar pemikiran
pembangunan yang satu sama lain memang tidak lepas dari benturan-benturan.
Kelompok tersebut adalah kelompok strukturalis dan kelompok kulturalis.
Kelompok kulturalis memandang bahwa pembangunan merupakan baghian yang tak bisa
dielakkan dengan focus of interestnya adalah persoalan budaya, agar
masyarakat dan pemerintah mampu merajut makna pembangunan yang memang
benar-benar bersentuhan dengan kepentingan dan kesejahteraan umum. Sedangkan
kaum strukturalis melihat bahwa kelemahan strukturallah mengakibatkan
keterbelakangan terutama negara-negara berkembang. Dan tampaknya, kedua
pendekatan tersebut satu sama lain mengedepankan egonya masing-masing, sehingga
adanya dominasi-subordinasi dalam pengejawantahan pembangunan.
Idealitas pembangunan (perkotaan), tak hanya sekedar "bersih" dari lapisan masyarakat bawah dan pasar inpres, namun idealitasnya justru adanya keseimbangan ekologis dalam semua aspek kehidupan, baik itu ruang politik, ekonomi, sosial dan budaya, temrasuk lingkungan lam sekitarnya. Ruang publik sebagai perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses pembangunan merupakan bagian integral untuk memperkukuh bahwa memangkota merupakaqn pusat pemerintahan,
perniagaan, pemukiman dan tempat belajar. Itu sebabnya, terutama di era
demokrasi ini, di satu sisi pemerintah harus transparan dalam merajut makna
pembangunan untuk semua, dan di sisi lain, rakyat ikutserta terlibat sebagai
manifestasi sense of bilonging pembangunan yang menyentuh pada kearifan
pembangunan untuk smeua warganya.
Idealitas pembangunan (perkotaan), tak hanya sekedar "bersih" dari lapisan masyarakat bawah dan pasar inpres, namun idealitasnya justru adanya keseimbangan ekologis dalam semua aspek kehidupan, baik itu ruang politik, ekonomi, sosial dan budaya, temrasuk lingkungan lam sekitarnya. Ruang publik sebagai perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses pembangunan merupakan bagian integral untuk memperkukuh bahwa memang
Masalah-masalah
pembangunan dengan rekasi pendek, memang dapat dikatakan relatif, namun dalam
pemaknaan ini dimaksudkan bahwa masalah tersebnut cepat teratasi dengan
dukungan fasilitas (sarana dan prasarananya) dan tidak menjalar atau "memvirusi"
yang membentuk masalah-masalah sosial baru. Dan, apabila masalah sosial reaksi
pendek tidak teratasi, bahkan sudah akut menjadi masalah sosial dengan reaksi
berantai/panjang, disadari atau tidak menjadi akumulasi yang tak terbantahkan
menjadi letupan persoalan sosial.
Dengan demikian, sebab-musabab krisis orientasi dan kesenjangan persepsi dalam pembangunan, karena memang adanya benturan kepentingan antar pemerintah dengan rakyat. Pihak pemerintah beranggapan bahwa dalam pembangunan (terutama dengankota metropolitannya),
tampaknya, penggusuran menjadi proyek yang diciptakan. Artinya, praktik
penggusuran tanah, rumah kaum miskin mengisyaratkan bahwa pemerintah pun dalam
memahami dan memaknai pembangunan acapkali dengan logika-logika yang menjadikan
rakyat sebagai "tumbal" pembangunan.
Dengan demikian, sebab-musabab krisis orientasi dan kesenjangan persepsi dalam pembangunan, karena memang adanya benturan kepentingan antar pemerintah dengan rakyat. Pihak pemerintah beranggapan bahwa dalam pembangunan (terutama dengan
Itu
sebabnya, perkara pembangunan sebagai proses sosial yang direncanakan atau
direkayasa, secara niscaya ditempatkan pada kepentingan kesejahteraan rakyat,
dan pembangunan berkisar pada bagaimana mengubah masyarakat dengan mengubah
sistem ekonominya, sehingga persoalan pertumbuhan yang senantiasa menjadi
perioritas utama yang mengakibatkan kesenjangan atau pemerataan tak tersentuh,
maka kearifan pembangunan tidak hanya sekedar pertumbuhan melulu, melainkan
menyentuh pada semua aspeknya, baik itu sosial budaya, politik, dan
persoalan-persoalan tata ruang yang harus konsisten dipertahankan, bukan
semata-mata kepentingan memenuhi kebuituhan kelompok tertentu (pebisnis
misalnya), sehingga semata-mata pendapatan asli daerah (pertumbuhan), hutan
konservasi dirambah menjadi permukiman, daerah resapan air dibangun menjadi
apartemen.
Dengan
demikian, pembanguna perkotaan, adalah merupakan permasalahan moral, karenanya
nilai-nilai dalam pembangunan sangat erat hubungannya dengaqn struktur
masyarakatnya. Artinya, perbedaan moralitas masyarakat dengan pemerintah
tatkala bersentuhan memang tidak menutup kemungkinan adanya gesekan atau
benturan nilai-nilai atas cara pandang mengenai pentingnya pembangunan. Namun,
persoalan cara pandang itu, secara niscaya berakibat pada frustasi bahkan kalau
hal seperti ini larut tidak menemukan jalan pemecahannya akan mengakibatkan
adanya rasa asosial. Akibat rasa asosial itulah disorganisasi
masyarakat/sosial dapat terjadi bila memang masing-masing tidak adanya
kesepahaman untuk memecahkan persoalan lingkungan (pembangunan perkotaan)
secara bersama-sama.
Catatan Penutup
Kondisi
riil masyarakat, pemeirntah, dewan (DPR/D) terkotak-kota, sehingga obyektivitas
pembangunan perkotaan menjadi sebuah keniscayaan dan perlu dielaborasi lebih
lanjut. Namun demikian, pelembagaan dan pemasyarakatan secara terus menerus
nilai-nilai pembangunan atau kearifan pembangunan tidak bisa lepas dari adanya
kepedulian dan konsistensi terhadap muatan-muatan yang mengitarinya, seperti
persoalan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan sejenisnya.
Dengan
begitu, problematika pembangunan antara reaksi pendek dan reaksi berantai
merupakan dwitunggal yang tak bisa dipisahkan. Satu sama lain bisa saling
mengisi bisa juga menghambat, kalau saja perencanaan pembangunan tersebut
bersifat parsial/sepihak. Itu sebabnya, pemaknaan pembangunan yang masih
menjadikan dimensi-dimensi lainnya (seperti sosial budaya, politik, lingkungan
alam) sebagai suplemen, tampaknya dewasa ini, secara niscaya patut
memberikan keniscayaan pembangunan yang arif untuk menyentuh semua kepentingan
sebagai fundamen dasar pembangunan. Karenanya, strategi perencanaan pembangunan
yang menyejahterakan rakyat, sesungguhnya mempunyai makna yang pragmatis
Daftar Pustaka
Budiamn, Arief, 2000, Teori
Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta .
Dieter Evers, Han, 1985, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia danMalaysia , LP3ES,
Jakarta .
Dieter Evers, Han, 1985, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan
Gilbert, alan & Josef Gugler,
1996, Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, Tiara Wacana, Yogyakarta .
Widodo, Joko, 2001, Good
Governance, Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas Kontrol Birokrasi pada Era
Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya .
Nugroho D., Riant, 2003, Reinventing Pembangunan: Menata Ulang Paradigma Pembangunan untuk MembangunIndonesia
Baru dengan Keunggulan Global, Gramedia, Jakarta .
Sairin, Sjafri, 2002, Perubahan Sosial MasyarakatIndonesia ,
Perspektif Antropologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta .
Nugroho D., Riant, 2003, Reinventing Pembangunan: Menata Ulang Paradigma Pembangunan untuk Membangun
Sairin, Sjafri, 2002, Perubahan Sosial Masyarakat
Sujatmoko, Jujun S.
Suriasumantri, Soejito Sosrodihardjo, dan Moeljanto Tjokrowinoto, 1987, Masalah
Sosial Budfaya Thun 2000 (Sebuah Bunga Rampai), Tiara Wacana, Yogyakarta.
Zahnd, Markus, 1999, PerencanaanKota Secara
Terpadu: Teori Perencanaan Kota dan
Penerapannya, Kanisius, Yogyakarta .
Zahnd, Markus, 1999, Perencanaan
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Atas Kunjungannya dan Kesediaannya untuk Berkomentar. Saya Sangat menghargai Setiap Komentar, Masukkan, Saran, dan Kritik yang sekiranya dapat Membangun Blog ini agar lebih baik Kedepannya. Berkomentarlah dengan sopan dan santun & "No Spam"..
Terima Kasih atas Kunjungannya...