Friday, November 16, 2012

PENGEMBANGAN PERKOTAAN


PENGEMBANGAN PERKOTAAN
DEFENISI KOTA
            Dalam pengertian kota, ada banyak hal yang dapat menjadi arti dari sebuah kata kota. Menurut Bintarto, kota adalah suatu system jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang memiliki tingkat strata social ekonomi yang heterogen dan kehidupan materialistis.
Adapun yang mengatakan bahwa kota adalah kelompok penduduk yang bertempat tinggal bersama-sama dalam suatu wilayah menurut peraturan-peraturan yang telah ditentukan. Kota adalah suatu wilayah yang didalamnya memiliki aksesbilitas seperti pusat pemukiman penduduk, pusat kegiatan ekonomi, pusat kegiatan politik, pusat hiburan, dan pusat kegiatan social budaya.
            Kota merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditujukan oleh kompulan rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri. Kota juga merupakan sebuah area urban yang berbeda dari desa atau kampong berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, kegiatan, atau status hukum.
Adapun cirri-ciri kehidupan kota sebagai berikut:
- Kehidupan social dimana adanya jarak social dan kurangnya toleransi social antar warga,
- Adanya perbedaan tingkat penghasilan,
- Adanya perbedaan pekerjaan dan pendidikan,
- Memiliki sifat individual.

Selain ciri-ciri kehidupan, kota juga memiliki cirri-ciri fisik yang dimana kota memiliki tempat-tempat untuk perdagangan, tempat pendidikan, tempat industry, tempat wisata, dan tempat pemukiman masyarakat.
Kota ditinjau dari jumlah penduduk, jika ditinjau dari jumlah penduduknya banyak Negara yang mendefenisikan suatu wilayah sebagai kota berdasarkan jumlah penduduk yang ada. Kondisi setempat dengan latar belakang social, ekonomi, dan cultural telah memungkinkan fungsi-fungsi kekotaan.
Kota juga dapat diartikan sebagai bentang budayayang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang beragam.

PENGARUH EKONOMI
Salah satu fungsi kota sebagai tempat melangsungkan kehidupan manusia adalah fungsi ekonomi. Menurut Williams dan Brunn (1993), ekonomi memainkan peran yang besar dalam perkembangan kota. Banyak para profesi dibidang kajian perkotaan telah membicarakan konsep ekonomi. Konsep ini adalah pendekatan paling sederhana untuk mengamati sumber potensial yang mempengaruhi pertumbuhan kota.
            Fungsi dasar ekonomi adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam penyediaan kebutuhan hidup masyarakat dan kegiatan ekonomi diluar batas kawasanny. Fungsi dasar merupakan faktor kunci untuk memacu pertumbuhan penduduk, pekerjaan, dan pendapatan masyarakat. Dari kegiatan ekonomi dasar digunakan untuk kegiatan ekonomi nondasar seperti hasil-hasil pabrik semen dan baja digunakan untuk pembangunan gedung dan rumah. Hasil olahan pertanian, perkebunan, dan perikanan dari pabrik makanan dan minuman dielaborasi direstoran-restoran dan warung.
            Anthony D. King (1990) mengemukakan teori ekonomi lainnya yang menekankan kepada tenaga kerja dan keterkaitannya pada pertumbuhan dan perubahan kota. Menurut pendapatnya keadaan pasar dunia mempunyai pengaruh yang sangat berarti terhadap kota. Dalam hipotesanya tentang pengaruh kekuatan kebijakan ekonomi adalah sebagai pendekatan sejarah, dimana masalahnya adalah berdasarkan pada perubahan kota didalam hubungannya dengan pengelompokan tenaga kerja melalui proses yang logis.
            Beberapa pendapat mengenai pembentukan struktur fisik kota timbul dari beberapa pendidik bidang perkotaan berdasarkan hubungan antara kegiatan masyarakat dengan waktu perkembangan ekonomi. Sejumlah akademisi dalam studi perkotaan memperdebatkan bahwa investasi pada bangunan dalam kota adalah berkaitan dengan siklus kegiatan ekonomi. Kota memproduksi dan mereproduksi kembali unsur-unsur fisik dalam berbagai cara. Pertumbuhan kota tergantung pada fluktuasi ekonomi khusunya siklus dan investasi.
Dari kondisi ekonomi dapat dilihat dengan pembangunan fisik di kawasan perkotaan. Masa resesi meninggalkan rangka-rangka gedung yang belum selesai yang kemudian akan dilanjutkan kembali setelah kondisi ekonomi membaik.
            Peran siklus pembangunan dalam perwujudan struktur fisik kota adalah penting setiap siklus pembangunan memiliki ciri pertumbuhan dalam komposisi tata guna tanah dan keadaan budaya dari masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Golledge dan Stimson (1997), fluktuasi pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan penemuan teknologi. Keduanya menyatakan pertumbuhan teknologi telah mempengaruhi sifat-sifat dasar produksi, distribusi, dan organisasi kegiatan ekonomi di kota. Pada masa krisis ekonomi kegiatan industri dibidang kontruksi, seperti pembangunan gedung perkotaan /perkantoran, properti serta pembelanjaan menurun. Keadaan ini memperlambat pengisian ruang kota, penggunaan tanah serta perubahan bentuk kawasan kota. Sebaliknya dimasa ekonomi baik terjadi pelonjakan kegiatan pembangunan properti yang memberi dampak peningkatan pengisian ruang-ruang kota.
PENGARUH SOSIAL
            Didalam kota, terdapat berbagai suku bangsa, keahlian, jenis pekerjaan, dan tingkatan pendapatan. Sifat-sifat dan karateristik sosial memberi pengaruh pandangan mereka terhadap lingkungan hidupnya. Kota merupakan suatu mimbar pertemuan bagi interaksi yang kompleks antar perorangan dan antar masyarakat untuk berbagai tujuan yang berbeda, termasuk tempat tinggal, pekerjaan, dan tujuan. Status sosial ekonomi seperti kesukuan, umur, tingkat pendapatan menentukan dimana kelompok masyarakat bertempat tinggal dan bekerja, juga jenis kebudayaan dan kegiatan hiburan dimana  mereka terlibat.
            Dijelaskan oleh Henri Lefebure bahwa setiap masyarakat membentuk suatu ruang yang jelas mempertemukan persyaratan yang berkaitan bagi produksi ekonomi dan produksi sosial dari suatu kota. Adapun Dolores Hayden (1995) mengatakan bahwa produksi ekonomi dan produksi sosial keduanya membentuk ruang kota secara bersamaan. Keduanya saling berkaitan secara serentak melalui kegiatan manusia didalam menyediakan kebutuhannya.
            Kehidupan masyarakat yang beragam yang diwujudkan dalam kegiatan politik, ekonomi, khususnya hubungan sosial dan budaya diantara anggota kelompok serta antara suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya. Hubungan kedua aspek kehidupan tersebut membutuhkan ruang pergerakan yang senantiasa berkembang dari waktu kewaktu sehingga mempengaruhi kondisi kota yang dihuninya.
            Persamaan dan perbedaan daripada ruang-ruang sosial yang diciptakan berdasarkan aspek kehidupan masyarakat membentuk suatu kota yang beraneka ragam. Dengan demikian, kota merupakan hasil dari kumpulan ruang-ruang sosial yang dibentuk oleh pola kehidupan masyarakat yang beraneka ragam yang senantiasa berkembang dan dicirikan oleh suatu karateristik sumber alam yang tersedia. Keadaan sosial dan budaya yang melekat pada kehidupan masyarakat akan membentuk struktur suatu kota.
            Sejalan dengan perkembangan waktu, suatu kota akan merubah akibat pergerakan masyarakat yang hadir pada kota tersebut dan membawa kebudayaan sosial dimana massyarakat itu berasal. Berawal dari produksi dan reproduksi ruang ekonomi dan sosial dalam suatu desa kemudian berkembang menjadi kota kecil. Kota melalui perjalanan waktu pada akhirnya menjadi suatu kota besar. Dan kota besar berkembang mengikuti peradaban yang dianut oleh masyarakatnya menjadi kota kotemporer yang dipenuhi dengan pemukiman penduduk, jalan raya, pertokoan, kawasan industri, taman dan ruang-ruang publik lainnya.



PEMBANGUNAN sesungguhnya merupakan never ending process (proses yang tak pernah berakhir), kendati Orde Baru telah gagal mempertahankan kesinambungan (sustainability) dalam pembangunan. Bahkan ada yang mengatakan perjalanan pembangunan selama tiga dasawarsa lebih berujung kepada "Dead-end" (akhir yang mematikan/mengalami jalan buntu), karena memang, Orde Baru menjadi monolitik dan otoriter secara politik, begiotupun ekonomi dikuasai segelintir pelaku bisnis, yang akibatnya kesenjangan sosial dan ekonomi yang menganga tak bisa dielakksan.

            Pertumbuhan ekonomi yang cepat, tampaknya telah menjadi "ideologisasi" rezim selama tiga dasawarsa lebih yang menuntut adanya penyeragaman dalam pembangunan, seperti misalnya desa di seluruh Indonesia diseragamkan (unifikasi) tata cara pengelolaan dan penamaannya. Padahal, kalau kita akui secara jujur, bahwa penyeragaman (unifikasi) menjadi tidak terpat, karena selain mengingkari falsafah bangsa: Bhinneka Tunggal Ika, juga mengingkari fakta sosialnya bahwa keunggulan tersebut ditentukan oleh kekayaan beragam (pluralistik) yang dimiliki oleh negeri ini.

            Dari realitas penyeragaman tersebut, disdari atau tidak, stabilisasi dijadikan "tujuan" dan bukan "cara" oleh rezim selama itu dalam pembangunan, sehingga partisipasi masyarakat dikerangkeng atau ditekan, bahkan lebih ekstrim lagi dikorbankan semata-mata demi stabilitas, kendatipun stabilitas seperti penganjur pembangunan politik terpopuler Samuel Huntington, mengatakan bahwa stabilitas sebagai syarat pembangunan, khususnya ketika lembaga-lembaga politik belum siap. dalam arti lain, manakala partisipasi politik rakyat yang terlalu tinggi, sedangkan lembaga-lembaga politik belum siap (atau masih muda), maka diyakini tidak akan mampu menampung partisipasi tersebut, sehingga dibutuhkan stabilitas, namun kekeliruan fundamental adalah meletakkan militer sebagai kunci dari stabilitas.

            Pemaksaan konsep pembangunan itulah, diakui atau tidak, penggusuran demi penggusuran baik tempat tinggal maupun tempat usaha kaum miskin, secara niscaya telah menjadi aktivitas ritual rezim selama itu, bahkan mungkin juga dewasa ini dalam mengejawantahkan makna pembangunan. Karena memang pembangunan selama ini (kerapkali) memperioritaskan penggemukan pendapatan nasional secara agregatif, sehingga pertumbuhan ekonomi dengan syarat stabilitas politik menjadi referensi perioritas dalam pengejaran target pembangunan tersebut. Sedangkan dimensi-dimensi lainnya seperti keadilan sosial (atau pemerataan), aspek manusianya dan muatan-muatan lokal yang dimiliki oleh negeri ini, tertinggalkan atau memang sengaja ditinggalkan.

            Seiring dengan itu, pembangunan perkotaan sebagai konsep sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan stratifikasi ekonomi yang heterogen atau sebagai suatu tempat pertemuan yang berorientasi ke luar, tata ruang perkotaan pun sebagai tempat pemukiman yang tetap dan memiliki "magnit" tertentu bagi penghuni-penghuninya termasuk penghuni-penghuni di luar kota untuk mengadakan kontak, baik itu dalam perdagangan maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Namun persoalan mendasarnya, apakah pembangunan perkotaan (dewasa ini) benar-benar menyentuh pada kepentingan umum (rakyat banyak) sebagai pusat pemerintahan (?) Dan bagaimana obyektivitasnya dengan sentuhan-sentuhan lokal atau kontektual alamiah demografinya (?).

            Pada tataran inilah, obyektivitas pembangunan perkotaan secara niscaya patut dielaborasi, karena kota adalah merupakan tempat pemukiman secara aglomer (kumulatif), yang merupakan suatu wilayah dengan paling tidak ciri-ciri fisaik, pemukiman manusia, pusat pemerintahan dan perniagaan yang dalam hubungannya bersifat sekunder.

Reaksi Sosial

            Paradigma pembangunan (kota) di Indonesia memang masih dihadapkan pada akumulasi pertumbuhan dalam bentuk fisik sebagai faktor determinan pendapatan pemerintah (dengan APBN/APBDnya). Atau, dalam bahasa Arief Budiman (2000), Di Indonesia kata pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi segala hal. Secara umum, kata ini diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang dimaksud terutama adalah kemajuan material. Maka, pembangunan seringkali diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi.

            Sehingga dari konstatasi konsep pembangunan tersebut, memang disadari atau tidak, pembangunan pun memunculkan reaksi-reaksi yang berkepanjangan dari masyarakat. Model pembangunan yang "ditancapkan" dalam negara Indonesia (khususnya pembangunan perkotaan) , tampaknya tidak lepas dari pendekatan keamanan untuk menyelenggarakan dan atau mewujudnyatakan pembangunan sebagai justifikasi bahwa pertumbuhan ekonomilah yang menjadi sasaran target capaiannya, sedangkan pemerataan atau pembangunan yang berwajah keadilan sosial terabaikan.

            Strategi pembangunan dengan pedenkatan konvensional yang dikenal dengan konsep pertumbuhannya, nyata-nyata telah menjadi kiblat pembangunan selama ini. Pendekatan ini, cenderung mengutamakan pertumbuhan output sebagai ukuran keberhasilan. Dengan perkataan lain, pendekatan ini mampu mendobrak keterbelakangan dan mencapai tingkat kemajuan, dikarenakan masalah pembangunan acapkali diukur oleh keberhasilan pembangunan ekonomi yang bersifat agregatif. Namun demikian, keberhasilan pembangunan tersebut, tidak harus merasa puas, karena disadari atau tidak, usaha pembangunan dengan pendekatan tersebut, umumnya dan khususnya tiga dasawarsa lebih dalam negara Indonesia, justru memperlihatkan dan atau dihinggapi oleh penderitaan, kemiskinan dan jurang antara kaya dan miskin maih tetap lebar.

            Itu sebabnya, berbagai alasan dikemukakan, kenapa pembangunan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, baik itu alasan yang bersifat ekonomi, sosial, ideologi bahkan historis. Dan pelajaran yang harus kita petik dari itu semua, tampaknya tidak berlebihan bila kita mengakuinya bahwa memang telah gagal pertama dan terutama dalam menangani persoalan kemiskinan (termasuk kemiskinan di perkotaan).


            Dari kegagalan itu, merangsang orang untuk melacak dan menggali teori-teori "pembangunan" sebagai alternatif menjawab keniscayaan pembangunan yang membebaskan kemiskinan dan menyadarkan pada kepentingan semua dimensi, tidak hanya yang bersifat "matematis-ekonomi". Itu sebabnya, pendekatan pembangunan tidak diukur dari indikator ekonomi semata, melainkan mencakup semua aspek kehidupan. Dengan perkataan lain, paradigma pembangunan yang selama ini menghantui pikiran kita dengan konsepsi pertumbuhan ekonominya, misalnya paradigma ekonomi-moneter yang menjustifikasi tujuan pembangunan menjadi pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Sehingga disadari atau tidak, ada pembenaran yang signifikan, yaitu "menghalalkan" adanya ketimpangan. Maksudnya, dengan adanya ketimpangan memberikan peluang yang berarti bagi kaum atau golongan atas untuk menciptakan productive base bagi pembangunan. Sedangkan pemerataan hanya sekedar lip service, bahkan menjadi momok bagi pembangunan.

            Reaksi-reaksi sosial itulah, merupakan realitas yang tak bisa dibantah belakangan ini, bahkan gelombang dan tuntutan reformasi pun, secara niscaya merupakan antitesis dari realitas kehidupan yang selama ini "menghianati" persoalan-persoalan sosial budaya negara bangsanya dan sejenisnya. Kemiskinan khususnya di Indonesia bukanlah masalah individual, melainkan jelas-jelas sebab-akibat boboroknya tatanan sosial, ekonomi dan bahkan lebih ekstrim lagi akibat tirani elit-elit politik di negara ini.

            Proses pembangunan, hingga kini pun, masih saja dimensi sosial budaya dan sejenisnya sebagai suplemen pembangunan ekonomi. Padahal, dimensi-dimensi tersebut merupakan dimensi fundamental pembangunan. Dalam perkataan lain, persoalan sosial budaya merupakan persoalan yang harus dipahami dalam tatanan yang intrinsik untuk mengejawantahkan pembangunan. Itu sebabnya, ia membutuhkan suatu "rekayasa sosial" dalam menjembatani perubahan-perubahannya, atau dapat merombak tatanan dan institusi-institusi sosial sehingga mampu menghasilkan suatu masyarakat yang mandiri, dan terbuka. Makna penting pembangunan secara niscaya harus menyentuh pada semua kepentingan. Artinya, dapat dikatakan bahwa pembangunan bidang sosial politik, sosial ekonomi, bahkan pertahanan dan keamanan dapat berhasil dengan baik apabila dilandasi terlebih dahulu pembangunan sosial budaya. Tidak hanya sekedar suplemen/pelengkap saja.

            Memang, masalah sosial mempunyai efek reaksi berantai, karena hal ini biasanya akibat dari masalah sosial sebelumnya dan berinteraksi dengan faktor-faktor sebelumnya, kemudian tumbuh berkembang sebagai deret ukur. Sebagai contoh masalah kemiskinan, penggunaan narkoba, dan perkelahian antar pelajar termasuk kejahatan terhadap anak-anak.

            Untuk itu, adanya perubahan sosial tidak bisa lepas dari adanya perubahan individu, atau perubahan individu merupakan bagian integral dari adanya perubahan sosial. Dengan begitu, perubahan sosial bagaimana pun, kita harus melihat dan menyimak dari adanya atau dimulainya perhatian dari perubahan individual dengan mengubah sikap individu. Contoh misalnya menempelkan stiker di bis-bis atau angkot dengan kalimat yang pendek: Kendalikan/kendarai mobil ini dengan enak, tidak seenaknya. Dalam contoh ini target kampanyenya adalah untuk mengubah sikap setiap individu masyarakat terhadap yang membawa/mengendarai mobil.
            Reaksi-rekasi sosial itulah, merupakan suatu sikap nilai individu yang mempengaruhi perilaku kelompok, dan sosial kemasyarakatan, karena itulah yang pada pokoknya harus diperjuangkan ialah kemampuan untuk berkembang baik secara sosial, ekonomi maupun politis dalam semua tingkatan dan semua komponen masyarakat, sehingga memungkinkan bangsa bersangkutan (Indonesia) "survive" di tengah-tengah dunia yang tidak stabil dan makin tunduk pada persaingan. Itu sebabnya, peningkatan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, tidak hanya sekedar beradaptasi diri pada perubahan, akan tetapi secara niscaya harus mengarahkan perubahan tersebut agar sesuai dengan tujuannya untuk kepentingan semua (bonnum commune).

Kesenjangan Persepsi dan Krisis Orientasi
           
            Pembangunan ada sangkut paut dengan perubahan. Dan hal ini jauh lebih mendasar ketimbang yang disangkakan semula, karenanya usaha pembangunan merupakan suatu upaya untuk menuju sasaran yang dinamis. Arus perubahan merupakan akibat dari proses pembangunan itu sendiri, pengaruh teknologi, pola pertumbuhan yang tidak merata, masuknya kebudayaan dan nilai-nilai asing. Juga, perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam scope nasional maupun internasional merupakan sarana-sarana pembangunan, seperti meliputi kepadatan penduduk yang makin besar, keasadaran politik yang makin meningkat, termasuk perubahan-perubahan gaya hidup dan lain sejenisnya.

            Dalam pemaknaan pembangunan, memang adanya reaksi-reaksi baik reaksi yang "pendek"/spontan untuk mendesain perencanaannya karena memiliki hubungan yang erat dengan reaksi berikutnya (reaksi panjang/berantai). Reaksi pendek tersebut merupakan fundamen dasar dalam penataan perubahan sosial yang diarahkan atau diantarkan menuju reaksi berantai yang cukup memberikan harapan yang baik atas perubahan tersebut. Namun demikian, pembangunan yang diidealkan untuk kepentingan rakyat banyak atau disandarkan bagi kesejahteraan umum, pada realitasnya hanya menyuguhkan kepentingan-kepentingan untuk kelompok kecil saja. Dalam arti, bahwa model pembangunan apapun pendekatannya yang disandarkan pada semua lapisan masyarakat untuk dapat menikmatinya, justru dalam realitasnya masih banyak rakyat tidak dapat menikmati "kue" pembangunan. Persenyawaan teori modernitas dalam realitasnya, diakui atau tidak, menggiring monopolistik di atas kemajemukan (pluralistik) tingkatan ekonomi. Maksudnya, pengkavlingan tuntutan pragmatis pembangunan yang kian materialistik dengan aspirasi-aspirasi morlaitas pembangunan yang demokratis atau pembangunan yang berwajah keadilan sosial (pemerataan), senantiasa berhadap-hadapan (via a vis).

            Memang, persoalan pembangunan erat kaitannya dengan moralitas, moralitas merupakan salah satu nilai masyarakat yang mengatur tingkah laku manusia. Itu sebabnya, apabila masyarakat memandang sesuatu sebagai masalah sosial, maka biasanya masyarakat akan memandang atau bahkan merasakannya bahwa sesuatu perlu diatasi. Berarti, persoalan pembangunan merupakan resultante dari berbagai aspek yang berada dalam masyarakat, yang satu sama lain saling memperkuat bahkan bisa juga saling menambah parahnya persoalan, ketika memang tidak ada kejelasan dan hanya sekedar mengejar bahwa wujud pembangunan tidak terkait dengan persoalan "ekologi daerah"nya.

            Ketimpangan atau kesenjangan dari hasil pembangunan itu sendiri menyodorkan kesenjangan persepsi dan krisis orientasi pembangunan. Artinya, yang kaya semaklin kaya, dan yang tidak berdaya semakin tidak berdaya, padahal makna yang disodorkan oleh jargon pembangunan, baik secara subyektivitasnya maupun obyektivitasnya, secara niscaya tetap adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan yang merata bagi semua lapisan masyarakat. Dan secara dasariah, keniscayaan mengeliminir gejolak-gejolak dan kekerasan-kekerasan, nyata-nyata diharapkan dalam pelaksanaan pembangunan, namun fakta sosialnya, senantiasa kekerasan atau pembuldozeran oleh kpenetingan-kepentingan sistem kekuasaan dan konglomerat. Apakah itu soal buruh, tanah, bahkan kita mungkin masih ingat kasus Hendri Ali sang pemilik rumah dan pekarangan di wilayah Jabotabek. Sampai tiga kali dia pindah rumah karena terkena penggusuran, dan terakhir mempertahankan miliknya dengan membuat sebuah kemah. Kasus Kacapiring di Bandung, kasus Kedong Ombo yang dijadikan sebuah proyek Waduk di Jawa Tengah, kasus Nipahdi Jawa Timur, termasuk penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) nyaris di smeua kota, daerah resapan air di Babakan Siliwangi (baca: Kondommium), dirambahnya hutan konservasi menjadi pemukiman dan lain-lainnya. Tampaknya, menjadi kegiatan rutinitas aparat pemerintah yang menampakkan wajah kebrutalan penguasa melukai hati rakyat sendiri dan tidak melestarikan daerah-daerah yang semestinya bukan untuk pembangunan perumahan/pemukiman (seperti Villa) malah dirambah hanya mengejar pertimbangan kepentingan ekonomi an sich.

            Adanya keresahan dan ketidakpuasan rakyat, pertama-tama dan terutama lapisan bawah, karena senantiasa menjadi tumbah pembangunan selama ini. Memang, sebagiamana dikemukakan Arief Budiman, bagi rakyat kecil, seringkali pembangunan memiliki arti lain. Saya teringat cerita yang dikisahkan oleh Bapak Selo Sumardjan. Dia pernah terdampar di sebuah kota kecil di luar Jakarta, dan sempat berbicara dengan seorang penduduk miskin di sana. Dia bertanya, dari mana orang itu datang. Jawab si penduduk: "Saya dulu tinggal di Jakarta. Tetapi, karena ada pembangunan, saya terpaksa mengungsi kemari". Bagi orang ini, dan bagi banyak orang kecil yang senasib dengannya, pembangunan merupakan sebuah malapetaka yang mendamparkan hidup mereka.

            Polarisasi rakyat terhadap pemerintah di satu sisi, tampaknya merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa diabaikan, ketika persoalan pembangunan hanya menjadi model penderitaan bagi rakyat terutama lapisan bawah. Akibatnya, dari optik itulah, disorganisasi sosial mempunyai korelasi yang tidak kecil dengan kejahatan, manakala tata nilai moralitas pembangunan diabaikan. Juga, disorganisasi sosial menyebabkan orang bersikap acuh tak acuh, merasa dirinya tidak berdaya terhadap ancaman pihak yang lebih kuat, sehingga dari sini terjadi pengasingan manusia dari manusia yang lain. Sedangkan di satu sisi, dengan sistem kekuasaannya, pemerintah dengan mainsteam pembangunan diasumsikan dengan melanggar peraturan atau melakukan kejahatan sudah merupakan suatu hal yang dibanggakan atau terpuji dalam melakoni pembangunan. Artinya, kearifan pembangunan diabaikan, bahkan tidak peduli lagi melihat aspek-aspek alamnya dan sosial budayanya, mana untuk pembangunan (dalam arti fisik), dan mana saja untuk daerah-daerah perniagaan, pemukiman, dan daerah-daerah konservasi hutan dan lain-lainnya.

            Political will pemerintah yang tidak berpijak pada kepentingan-kepentingan yang lebih luas, namun hanya pertimbangan pendapatan saja, mengakibatkan pergeseran makna pembangunan yang sesungguhnya. Artinya, bahwa pembangunan tidak hanya sekedar mengejar target-target pendapatan saja (baca: PAD), melainkan pembangunan tersebut, adalah memerlukan kepekaan terhadap semua lingkungan baik sosial budaya, politik, ekonomi dan lingkungan-lingkungan alam sebagai penyangga ekosistem. Pendek kata, sensibilitas memahami pembangunan terfungsionalisasikannya semua elemen-elemen pembangunan dan aspek-aspek yang mengitarinya.
Obyektivitas Pembangunan Perkotaan

            Logika-logika di balik penggusuran demi pembangunan, tampaknya telah menjadi ideologi para penguasa. diskriminasi dan disparitas antara kaum kaya dan miskin telah menjadi pemaknsaan pembangunan selama ini. Sehingga kalau saja pembangunan tidak berhasil seperti dalam menangani persoalan banjir, kesemrawutan kota dan lain-lain, justru yang menjadi kambing hitamnya adalah mereka rakyat miskin dan pedagang di pasar inpres atau PKL.

            Memang, sejumlah konsep pembangunan muncul untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pembangunan (perkotaan), sehingga terdapat dua kelompok besar pemikiran pembangunan yang satu sama lain memang tidak lepas dari benturan-benturan. Kelompok tersebut adalah kelompok strukturalis dan kelompok kulturalis. Kelompok kulturalis memandang bahwa pembangunan merupakan baghian yang tak bisa dielakkan dengan focus of interestnya adalah persoalan budaya, agar masyarakat dan pemerintah mampu merajut makna pembangunan yang memang benar-benar bersentuhan dengan kepentingan dan kesejahteraan umum. Sedangkan kaum strukturalis melihat bahwa kelemahan strukturallah mengakibatkan keterbelakangan terutama negara-negara berkembang. Dan tampaknya, kedua pendekatan tersebut satu sama lain mengedepankan egonya masing-masing, sehingga adanya dominasi-subordinasi dalam pengejawantahan pembangunan.
 
            Idealitas pembangunan (perkotaan), tak hanya sekedar "bersih" dari lapisan masyarakat bawah dan pasar inpres, namun idealitasnya justru adanya keseimbangan ekologis dalam semua aspek kehidupan, baik itu ruang politik, ekonomi, sosial dan budaya, temrasuk lingkungan lam sekitarnya. Ruang publik sebagai perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses pembangunan merupakan bagian integral untuk memperkukuh bahwa memang kota merupakaqn pusat pemerintahan, perniagaan, pemukiman dan tempat belajar. Itu sebabnya, terutama di era demokrasi ini, di satu sisi pemerintah harus transparan dalam merajut makna pembangunan untuk semua, dan di sisi lain, rakyat ikutserta terlibat sebagai manifestasi sense of bilonging pembangunan yang menyentuh pada kearifan pembangunan untuk smeua warganya.

            Masalah-masalah pembangunan dengan rekasi pendek, memang dapat dikatakan relatif, namun dalam pemaknaan ini dimaksudkan bahwa masalah tersebnut cepat teratasi dengan dukungan fasilitas (sarana dan prasarananya) dan tidak menjalar atau "memvirusi" yang membentuk masalah-masalah sosial baru. Dan, apabila masalah sosial reaksi pendek tidak teratasi, bahkan sudah akut menjadi masalah sosial dengan reaksi berantai/panjang, disadari atau tidak menjadi akumulasi yang tak terbantahkan menjadi letupan persoalan sosial.

            Dengan demikian, sebab-musabab krisis orientasi dan kesenjangan persepsi dalam pembangunan, karena memang adanya benturan kepentingan antar pemerintah dengan rakyat. Pihak pemerintah beranggapan bahwa dalam pembangunan (terutama dengan kota metropolitannya), tampaknya, penggusuran menjadi proyek yang diciptakan. Artinya, praktik penggusuran tanah, rumah kaum miskin mengisyaratkan bahwa pemerintah pun dalam memahami dan memaknai pembangunan acapkali dengan logika-logika yang menjadikan rakyat sebagai "tumbal" pembangunan.

            Itu sebabnya, perkara pembangunan sebagai proses sosial yang direncanakan atau direkayasa, secara niscaya ditempatkan pada kepentingan kesejahteraan rakyat, dan pembangunan berkisar pada bagaimana mengubah masyarakat dengan mengubah sistem ekonominya, sehingga persoalan pertumbuhan yang senantiasa menjadi perioritas utama yang mengakibatkan kesenjangan atau pemerataan tak tersentuh, maka kearifan pembangunan tidak hanya sekedar pertumbuhan melulu, melainkan menyentuh pada semua aspeknya, baik itu sosial budaya, politik, dan persoalan-persoalan tata ruang yang harus konsisten dipertahankan, bukan semata-mata kepentingan memenuhi kebuituhan kelompok tertentu (pebisnis misalnya), sehingga semata-mata pendapatan asli daerah (pertumbuhan), hutan konservasi dirambah menjadi permukiman, daerah resapan air dibangun menjadi apartemen.
           
            Dengan demikian, pembanguna perkotaan, adalah merupakan permasalahan moral, karenanya nilai-nilai dalam pembangunan sangat erat hubungannya dengaqn struktur masyarakatnya. Artinya, perbedaan moralitas masyarakat dengan pemerintah tatkala bersentuhan memang tidak menutup kemungkinan adanya gesekan atau benturan nilai-nilai atas cara pandang mengenai pentingnya pembangunan. Namun, persoalan cara pandang itu, secara niscaya berakibat pada frustasi bahkan kalau hal seperti ini larut tidak menemukan jalan pemecahannya akan mengakibatkan adanya rasa asosial. Akibat rasa asosial itulah disorganisasi masyarakat/sosial dapat terjadi bila memang masing-masing tidak adanya kesepahaman untuk memecahkan persoalan lingkungan (pembangunan perkotaan) secara bersama-sama.

Catatan Penutup
            Kondisi riil masyarakat, pemeirntah, dewan (DPR/D) terkotak-kota, sehingga obyektivitas pembangunan perkotaan menjadi sebuah keniscayaan dan perlu dielaborasi lebih lanjut. Namun demikian, pelembagaan dan pemasyarakatan secara terus menerus nilai-nilai pembangunan atau kearifan pembangunan tidak bisa lepas dari adanya kepedulian dan konsistensi terhadap muatan-muatan yang mengitarinya, seperti persoalan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan sejenisnya.
           
            Dengan begitu, problematika pembangunan antara reaksi pendek dan reaksi berantai merupakan dwitunggal yang tak bisa dipisahkan. Satu sama lain bisa saling mengisi bisa juga menghambat, kalau saja perencanaan pembangunan tersebut bersifat parsial/sepihak. Itu sebabnya, pemaknaan pembangunan yang masih menjadikan dimensi-dimensi lainnya (seperti sosial budaya, politik, lingkungan alam) sebagai suplemen, tampaknya dewasa ini, secara niscaya patut memberikan keniscayaan pembangunan yang arif untuk menyentuh semua kepentingan sebagai fundamen dasar pembangunan. Karenanya, strategi perencanaan pembangunan yang menyejahterakan rakyat, sesungguhnya mempunyai makna yang pragmatis



Daftar Pustaka

Budiamn, Arief, 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dieter Evers, Han, 1985, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, LP3ES, Jakarta.
Gilbert, alan & Josef Gugler, 1996, Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Widodo, Joko, 2001, Good Governance, Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya.
Nugroho D., Riant, 2003, Reinventing Pembangunan: Menata Ulang Paradigma Pembangunan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global, Gramedia, Jakarta.
Sairin, Sjafri, 2002, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sujatmoko, Jujun S. Suriasumantri, Soejito Sosrodihardjo, dan Moeljanto Tjokrowinoto, 1987, Masalah Sosial Budfaya Thun 2000 (Sebuah Bunga Rampai), Tiara Wacana, Yogyakarta.
Zahnd, Markus, 1999, Perencanaan Kota Secara Terpadu: Teori Perencanaan Kota dan Penerapannya, Kanisius, Yogyakarta.

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Atas Kunjungannya dan Kesediaannya untuk Berkomentar. Saya Sangat menghargai Setiap Komentar, Masukkan, Saran, dan Kritik yang sekiranya dapat Membangun Blog ini agar lebih baik Kedepannya. Berkomentarlah dengan sopan dan santun & "No Spam"..
Terima Kasih atas Kunjungannya...

 
Design by Materi Belajar Online